Rencana Menghidupkan – Di tengah geliat pembangunan dan industrialisasi yang kian menggeliat di Kabupaten Majalengka, sebuah rencana besar mulai bergulir—menghidupkan kembali Kolam Sang Raja. Kolam ini bukan sekadar cekungan air biasa. Di balik permukaan yang tenang dan rerimbunan yang mulai melupakan bentuk aslinya, tersembunyi jejak sejarah masa silam, jejak kebesaran kerajaan kuno yang pernah berjaya di tanah Priangan timur.
Kolam Sang Raja, demikian masyarakat lokal menyebutnya, konon merupakan tempat pemandian keluarga bangsawan yang berada dalam kawasan strategis Majalengka tempo dulu slot777. Namun hari ini, kolam tersebut lebih menyerupai cekungan sunyi yang di peluk ilalang liar dan nyanyian jangkrik malam. Tak ada lagi gema kebesaran, yang tersisa hanyalah sunyi yang menyayat.
Ambisi atau Kepedulian Sejarah?
Pemerintah daerah menyebut rencana revitalisasi ini sebagai bagian dari pelestarian sejarah dan peningkatan pariwisata. Tapi pertanyaannya: benarkah ini soal pelestarian? Atau hanya upaya membungkus proyek besar dengan narasi budaya untuk mendapatkan legitimasi publik?
Rencana tersebut mencakup pembersihan area kolam, pembangunan taman tematik, penambahan instalasi penerangan artistik, hingga kemungkinan pembangunan replika bangunan kerajaan di sekitarnya. Sekilas terlihat menjanjikan. Namun ada kekhawatiran yang mengendap di balik semangat proyek ini—apakah ruh sejarah masih bisa hidup kembali jika di bungkus beton dan lampu sorot?
Sejarawan lokal bahkan memperingatkan, jika tidak di lakukan dengan pendekatan arkeologis yang benar, revitalisasi ini justru bisa membunuh makna sejarah itu sendiri. Jangan sampai Kolam Sang Raja hanya menjadi kolam estetika, tempat selfie, dan panggung festival tahunan, tanpa menyisakan nilai otentik masa lalu.
Daya Tarik atau Distorsi Budaya?
Kolam Sang Raja bukan hanya soal keindahan visual, tapi simbol kekuasaan, spiritualitas, dan sistem sosial masa lalu. Ia adalah representasi dari tatanan yang menghargai air sebagai pusat kehidupan. Membuatnya kembali hidup berarti juga menghidupkan nilai-nilai tersebut.
Namun, jika yang di hidupkan hanya kolamnya—sementara narasi sejarah di abaikan—maka proyek ini hanya akan menjadi ruang kosong berisi air. Apa bedanya dengan water park atau kolam buatan lainnya? Tanpa konteks, tanpa edukasi, tanpa penghormatan pada sejarah, maka air yang mengisi kolam itu tak ubahnya air dari selang PDAM biasa.
Suara Masyarakat: Antara Harapan dan Kecurigaan
Masyarakat Majalengka sebenarnya menyimpan harapan besar. Mereka ingin melihat daerahnya berkembang, memiliki magnet wisata, dan tentunya menghidupkan kembali identitas budaya yang selama ini tenggelam oleh pembangunan. Namun, di sisi lain, mereka juga cerdas. Mereka paham bahwa proyek seperti ini kerap menjadi pintu masuk bagi kepentingan lain—properti, bisnis, atau bahkan politik.
Beberapa warga mempertanyakan urgensi revitalisasi ini di tengah kebutuhan dasar masyarakat yang belum sepenuhnya terpenuhi. “Jalan rusak saja belum di perbaiki, tapi sudah bicara soal bangun kolam raja. Rakyat mana yang di jadikan prioritas?” ungkap seorang warga Desa Lemahputih dengan nada sinis.
Apa yang Akan Dihidupkan, Sejarah atau Sekadar Nama?
Pertanyaan akhirnya adalah: saat proyek ini selesai—jika memang dilaksanakan—apa yang benar-benar di hidupkan? Apakah memori kolektif sebuah peradaban? Atau hanya bangunan indah yang jadi latar belakang konten Instagram?
Kolam Sang Raja tidak butuh sekadar pemugaran fisik. Ia butuh pembacaan ulang sejarah, pelibatan masyarakat, dan penafsiran ulang nilai-nilai leluhur. Tanpa itu semua, proyek ini hanya akan jadi perayaan dangkal atas sesuatu yang seharusnya sakral. Jangan sampai air yang mengisi kolam itu hanyalah genangan semu dari warisan yang gagal dipahami.